Nama :
Affandi
Lahir :
Cirebon , Jawa Barat
1907
Wafat :
23 Mei 1990
Pendidikan :
HIS,
MULO,
AMS,
Karier :
Pelukis,
Pengajar Seni Lukis di AkademiSeni Rupa Yogyakarta (ASRI)
Penghargaan :
Piagam Anugrah Seni dariDepartemen Pendidikan danKebudayaan (1969),
Doctor Honoris Causa dari University of Singapore (1974),
Dark Hammarsjoeld dariInternational Peace Price (Florence, Italy, 1997),
Bintang Jasa Utama (1978),
Julukan Pelukis EkspressionisBaru Indonesia oleh Koran International Herald Tribune,
Gelar Grand Maestro diFlorence, Italia.
Pameran – Pameran :
Museum of Modern Art
(Rio De Janeiro, Brazil, 1966),
East West Center ,
(Honolulu , 1988),
Festival of Indonesia
(USA 1990-1992),
Gate Foundation,
(Amsterdam, Holland, 1993),
Singapore Art Museum (1994), Centre for Stategic and International Studies
(Jakarta , 1996),
Indonesia Japan Friendship Festival (Morioka, Tokyo,1997)
ASEAN Master Works,
(Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1998-1999)
Pameran keliling di berbagaikota di India,
Pameran di Benua Eropa, Benua Amerika, Austalia
Affandi adalah salah satu putera dari pasangan Koesoema dan ibu Ladjem sebagai isteri kedua, lahir di Cirebon
1907,tanggal, hari dan bulannya tidak diketahui dengan persis.Mulai melukis sejak masa sekolah dan ditekuni
dengan sungguh-sungguh mulai tahun 1934 dengan cara belajar sendiri.Pameran pertama kalinya dilakukan di
Gedung Poetra di Jakarta tahun 1943 (poesat tenaga rakyat) yang dipimpin olehempat serangkai : Ir. Soekarno,
Mohammad Hatta, Ki hajar Dewantara, dan Kiyai Haji Mas Mansyur. Antara tahun1945-1947 Affandi aktif
membuat poster perjuangan untuk membangkitkan perlawanan rakyat terhadap kaumkolonialisme Belanda yang
ingin menjajah kembali Indonesia .Pada periode tahun 1949-1951, ia mendapat grant dari pemerintah India dan
tinggal di sana selama dua tahun sambilmelukis serta mengadakan pameran keliling kota besar di India . Pada
periode tahun 1951-1977, ia mengadakan pameran keliling di negara Eropa. Kemudian ditunjuk oleh pemerintah
Republik Indonesia sebagai wakil Indonesia dalam pameranInternasional di Brazili dan Venezia tahun 1954, ia
memenangkan hadiah kemudian di San Paolo. Pada tahun 1957, iamendapat grant dari pemerintah Amerika
Serikat untuk mempelajari metode pendidikan seni serta tinggal di sana selamaempat bulan, sempat pula
mengadakan pameran tunggal di WorldHouseGallery , NewYork , Amerika Serikat.Pada tahun 1962, ia
menjadi guru besar kehormatan dalam mata kuliah ilmu seni lukis di Ohio State University Columbia ,
Ohio , Amerika Serikat. Pada tahun 1969, ia menerima anugerah seni dan medali emas dari Menteri Pendidikan
danKebudayaan Republik Indonesia , kemudian diangkat menjadi anggota kehormatan untuk seumur hidup
pada AkademiJakarta. Pada tahun yang sama, ia dipilih selama masa tiga tahun menjadi ketuaIAPA
(InternationalArtPlasticAssociation) untuk Indonesia , IAPA adalah badan international di bawah naungan
Unesco. Pada tahun 1973, ia ditunjukoleh pemerintah Indonesia untuk mewakili dalam pameran Bienalle di
Sydney , Australia .
Menerima gelar kehormatan Doctor Honoris Causa dari University of Singapore pada tahun 1974, kemudian di
tahun1977, ia menerima hadiah perdamaian International dariYayasan Dag Hammerskoeld serta menerima
gelar Grand Maestro di Gedung San Marzano Florence , Italia. Kemudiania diangkat menjadi anggota hak-hak
azasi manusia dariKomite Pusat Diplomatic Academy of Peace PAX MUNDI diCastello San Marzano
Florence , Italia. Sekembalinya darisana , ia mendapat undangan dari Raja Arab Saudi sekaliannaik haji bersama
istrinya, Maryati.
Pada Agustus 1978, ia menerima penghargaan piagam tanda kehormatan Bintang Jasa Utama”dari Presiden
RepublikIndonesia atas jasa-jasanya yang besar terhadap negara dan bangsa Indonesia dalam suatu bidang
atau peristiwa tertentu.Pada 1984 bulan September, mendapat undangan dari Konsul Jendral RI di Houston,
Texas , Amerika Serikat, untukpameran bersama tiga pelukis besar Indonesia : Affandi, S. Sudjojono , dan
Basuki Abdullah. Pada 1986, ia diangkat menjadi Anggota Dewan Penyantun Institut Seni Indonesia (ISI)
Yogyakarta . Tahun 1987, iamengadakan pameran tunggal pada ulang tahun yang ke-80 sekaligus merupakan
peresmian penggunaan gedung pameranseni rupa milik Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang terletak
di jalan Medan Merdeka Timur, Gambir Jakarta. Sejak itu kesehatan Affandi mulai sering terganggu dan
kehadirannya pada pembukaan pamerannya sudah menggunakankursi roda karena tak mampu berjalan sendiri
Kendati demikian, semangatnya melukis tak kunjung surut. Diamendemostrasikan cara melukis potret diri yang
tenggelam di pusaran tujuh mata hari, karya itu dihadiahkan kepadaPemerintah RI melalui Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan yang diterima oleh Prof. Dr. Fuad Hassan.
Kemudian disusul mendapat penghargaan melalui Badan Koordinasi Kesenian NasionalIndonesia(BKKNI) yangpenyerahannya dilakukan di Istana negara oleh Bapak Presiden Soeharto. Affandi saat itu menggunakan kursi roda karenakesehatannya semakin menurun saja. Peristiwa ini berlanjut dengan dibangunnya Museum Affandi, yang terletak di sisi kali Gajah Wong Yogyakarta dan sempat ditinjau oleh Presiden Soeharto bersama tamu negara dari Malaysia Dr. MahathirMohammad. Koleksi yang dipamerkan dalam ulang tahunnya yang ke-80 terdapat sebuah karya
dengan obyek seekorayam jantan mati kerena korban sabungan, dengan dibubuhi tulisan yang berbunyi
“1987, mati”. Maka telah menimbulkanberbagai tafsiran dari pengunjung –kolektor serta pengamat seni rupa
pada saat itu. Menurut pengamatan paham sebagian orang jawa hingga saat ini, lukisan tersebut merupakan
pertanda mati suri”bagi sipembuatnya (pelukisnya). Makna seperti ini hanya dapat dimaklumi oleh kaum yang
terbatas yaitu mereka yang mampumembaca simbol visual yang sangat sensitive. Mengikuti kenyataannya
memang keadaan fisik Affandi terus menurun keluar masuk rumah sakit, berlarut berkepanjangan lebih dari satu
tahun telah kehilangan kemampuan untuk berkomunikasidengan siapapun. Bahkan bernafas maupun makan
melalui alat bantu. Ooh……….. betapa dalam serta menghujamnya rasaduka bagi siapapun yang sempat
berkunjung, bagaimana pula keluarga dekat serta anak isterinya yang setiap harimenunggu serta merawatnya tak
tertanggungkan kiranya.
Maestro Seni Lukis
Affandi
Nama :
Affandi
1907
23 Mei 1990
HIS,
MULO,
AMS,
Pelukis,
Pengajar Seni Lukis di AkademiSeni Rupa Yogyakarta (ASRI)
Piagam Anugrah Seni dariDepartemen Pendidikan danKebudayaan (1969),
Dark Hammarsjoeld dariInternational Peace Price (Florence, Italy, 1997),
Bintang Jasa Utama (1978),
Julukan Pelukis EkspressionisBaru Indonesia oleh Koran International Herald Tribune,
Gelar Grand Maestro diFlorence, Italia.
(Rio De Janeiro, Brazil, 1966),
(
Festival of
(USA 1990-1992),
Gate Foundation,
(Amsterdam, Holland, 1993),
(
ASEAN Master Works,
(Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1998-1999)
Pameran keliling di berbagaikota di India,
Pameran di Benua Eropa, Benua Amerika, Austalia
Affandi adalah salah satu putera dari pasangan Koesoema dan ibu Ladjem sebagai isteri kedua, lahir di Cirebon
1907,tanggal, hari dan bulannya tidak diketahui dengan persis.Mulai melukis sejak masa sekolah dan ditekuni
dengan sungguh-sungguh mulai tahun 1934 dengan cara belajar sendiri.Pameran pertama kalinya dilakukan di
Gedung Poetra di Jakarta tahun 1943 (poesat tenaga rakyat) yang dipimpin olehempat serangkai : Ir. Soekarno,
Mohammad Hatta, Ki hajar Dewantara, dan Kiyai Haji Mas Mansyur. Antara tahun1945-1947 Affandi aktif
membuat poster perjuangan untuk membangkitkan perlawanan rakyat terhadap kaumkolonialisme Belanda yang
ingin menjajah kembali Indonesia .Pada periode tahun 1949-1951, ia mendapat grant dari pemerintah India dan
tinggal di sana selama dua tahun sambilmelukis serta mengadakan pameran keliling kota besar di India . Pada
periode tahun 1951-1977, ia mengadakan pameran keliling di negara Eropa. Kemudian ditunjuk oleh pemerintah
Republik Indonesia sebagai wakil Indonesia dalam pameranInternasional di Brazili dan Venezia tahun 1954, ia
memenangkan hadiah kemudian di San Paolo. Pada tahun 1957, iamendapat grant dari pemerintah Amerika
Serikat untuk mempelajari metode pendidikan seni serta tinggal di sana selamaempat bulan, sempat pula
mengadakan pameran tunggal di WorldHouseGallery , NewYork , Amerika Serikat.Pada tahun 1962, ia
menjadi guru besar kehormatan dalam mata kuliah ilmu seni lukis di Ohio State University Columbia ,
Ohio , Amerika Serikat. Pada tahun 1969, ia menerima anugerah seni dan medali emas dari Menteri Pendidikan
danKebudayaan Republik Indonesia , kemudian diangkat menjadi anggota kehormatan untuk seumur hidup
pada AkademiJakarta. Pada tahun yang sama, ia dipilih selama masa tiga tahun menjadi ketuaIAPA
(InternationalArtPlasticAssociation) untuk Indonesia , IAPA adalah badan international di bawah naungan
Unesco. Pada tahun 1973, ia ditunjukoleh pemerintah Indonesia untuk mewakili dalam pameran Bienalle di
Sydney , Australia .
Menerima gelar kehormatan Doctor Honoris Causa dari University of Singapore pada tahun 1974, kemudian di
tahun1977, ia menerima hadiah perdamaian International dariYayasan Dag Hammerskoeld serta menerima
gelar Grand Maestro di Gedung San Marzano Florence , Italia. Kemudiania diangkat menjadi anggota hak-hak
azasi manusia dariKomite Pusat Diplomatic Academy of Peace PAX MUNDI diCastello San Marzano
Florence , Italia. Sekembalinya darisana , ia mendapat undangan dari Raja Arab Saudi sekaliannaik haji bersama
istrinya, Maryati.
Pada Agustus 1978, ia menerima penghargaan piagam tanda kehormatan Bintang Jasa Utama”dari Presiden
RepublikIndonesia atas jasa-jasanya yang besar terhadap negara dan bangsa Indonesia dalam suatu bidang
atau peristiwa tertentu.Pada 1984 bulan September, mendapat undangan dari Konsul Jendral RI di Houston,
Texas , Amerika Serikat, untukpameran bersama tiga pelukis besar Indonesia : Affandi, S. Sudjojono , dan
Basuki Abdullah. Pada 1986, ia diangkat menjadi Anggota Dewan Penyantun Institut Seni Indonesia (ISI)
Yogyakarta . Tahun 1987, iamengadakan pameran tunggal pada ulang tahun yang ke-80 sekaligus merupakan
peresmian penggunaan gedung pameranseni rupa milik Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang terletak
di jalan Medan Merdeka Timur, Gambir Jakarta. Sejak itu kesehatan Affandi mulai sering terganggu dan
kehadirannya pada pembukaan pamerannya sudah menggunakankursi roda karena tak mampu berjalan sendiri
Kendati demikian, semangatnya melukis tak kunjung surut. Diamendemostrasikan cara melukis potret diri yang
tenggelam di pusaran tujuh mata hari, karya itu dihadiahkan kepadaPemerintah RI melalui Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan yang diterima oleh Prof. Dr. Fuad Hassan.
Kemudian disusul mendapat penghargaan melalui Badan Koordinasi Kesenian NasionalIndonesia(BKKNI) yangpenyerahannya dilakukan di Istana negara oleh Bapak Presiden Soeharto. Affandi saat itu menggunakan kursi roda karenakesehatannya semakin menurun saja. Peristiwa ini berlanjut dengan dibangunnya Museum Affandi, yang terletak di sisi kali Gajah Wong Yogyakarta dan sempat ditinjau oleh Presiden Soeharto bersama tamu negara dari Malaysia Dr. MahathirMohammad. Koleksi yang dipamerkan dalam ulang tahunnya yang ke-80 terdapat sebuah karya
dengan obyek seekorayam jantan mati kerena korban sabungan, dengan dibubuhi tulisan yang berbunyi
“1987, mati”. Maka telah menimbulkanberbagai tafsiran dari pengunjung –kolektor serta pengamat seni rupa
pada saat itu. Menurut pengamatan paham sebagian orang jawa hingga saat ini, lukisan tersebut merupakan
pertanda mati suri”bagi sipembuatnya (pelukisnya). Makna seperti ini hanya dapat dimaklumi oleh kaum yang
terbatas yaitu mereka yang mampumembaca simbol visual yang sangat sensitive. Mengikuti kenyataannya
memang keadaan fisik Affandi terus menurun keluar masuk rumah sakit, berlarut berkepanjangan lebih dari satu
tahun telah kehilangan kemampuan untuk berkomunikasidengan siapapun. Bahkan bernafas maupun makan
melalui alat bantu. Ooh……….. betapa dalam serta menghujamnya rasaduka bagi siapapun yang sempat
berkunjung, bagaimana pula keluarga dekat serta anak isterinya yang setiap harimenunggu serta merawatnya tak
tertanggungkan kiranya.
Affandi adalah salah satu putera dari pasangan Koesoema dan ibu Ladjem sebagai isteri kedua, lahir di
1907,tanggal, hari dan bulannya tidak diketahui dengan persis.Mulai melukis sejak masa sekolah dan ditekuni
dengan sungguh-sungguh mulai tahun 1934 dengan cara belajar sendiri.Pameran pertama kalinya dilakukan di
Gedung Poetra di Jakarta tahun 1943 (poesat tenaga rakyat) yang dipimpin olehempat serangkai : Ir. Soekarno,
Mohammad Hatta, Ki hajar Dewantara, dan Kiyai Haji Mas Mansyur. Antara tahun1945-1947 Affandi aktif
membuat poster perjuangan untuk membangkitkan perlawanan rakyat terhadap kaumkolonialisme Belanda yang
ingin menjajah kembali
tinggal di
periode tahun 1951-1977, ia mengadakan pameran keliling di negara Eropa. Kemudian ditunjuk oleh pemerintah
Republik
memenangkan hadiah kemudian di San Paolo. Pada tahun 1957, iamendapat grant dari pemerintah Amerika
Serikat untuk mempelajari metode pendidikan seni serta tinggal di
mengadakan pameran tunggal di
menjadi guru besar kehormatan dalam mata kuliah ilmu seni lukis di
danKebudayaan Republik
pada AkademiJakarta. Pada tahun yang sama, ia dipilih selama masa tiga tahun menjadi ketuaIAPA
(InternationalArtPlasticAssociation) untuk
Unesco. Pada tahun 1973, ia ditunjukoleh pemerintah
Menerima gelar kehormatan
tahun1977, ia menerima hadiah perdamaian International dariYayasan Dag Hammerskoeld serta menerima
gelar Grand Maestro di Gedung San Marzano
azasi manusia dariKomite Pusat Diplomatic Academy of Peace PAX MUNDI diCastello San Marzano
istrinya, Maryati.
Pada Agustus 1978, ia menerima penghargaan piagam tanda kehormatan Bintang Jasa Utama”dari Presiden
Republik
atau peristiwa tertentu.Pada 1984 bulan September, mendapat undangan dari Konsul Jendral RI di Houston,
Basuki Abdullah. Pada 1986, ia diangkat menjadi Anggota Dewan Penyantun Institut Seni Indonesia (ISI)
peresmian penggunaan gedung pameranseni rupa milik Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang terletak
di jalan Medan Merdeka Timur, Gambir Jakarta. Sejak itu kesehatan Affandi mulai sering terganggu dan
kehadirannya pada pembukaan pamerannya sudah menggunakankursi roda karena tak mampu berjalan sendiri
Kendati demikian, semangatnya melukis tak kunjung surut. Diamendemostrasikan cara melukis potret diri yang
tenggelam di pusaran tujuh mata hari, karya itu dihadiahkan kepada
dan Kebudayaan yang diterima oleh Prof. Dr. Fuad Hassan.
Kemudian disusul mendapat penghargaan melalui Badan Koordinasi Kesenian NasionalIndonesia(BKKNI) yangpenyerahannya dilakukan di Istana negara oleh Bapak Presiden Soeharto. Affandi saat itu menggunakan kursi roda karenakesehatannya semakin menurun saja. Peristiwa ini berlanjut dengan dibangunnya Museum Affandi, yang terletak di sisi kali Gajah Wong Yogyakarta dan sempat ditinjau oleh Presiden Soeharto bersama tamu negara dari Malaysia Dr. MahathirMohammad. Koleksi yang dipamerkan dalam ulang tahunnya yang ke-80 terdapat sebuah karya
dengan obyek seekorayam jantan mati kerena korban sabungan, dengan dibubuhi tulisan yang berbunyi
“1987, mati”. Maka telah menimbulkanberbagai tafsiran dari pengunjung –kolektor serta pengamat seni rupa
pada saat itu. Menurut pengamatan paham sebagian orang jawa hingga saat ini, lukisan tersebut merupakan
pertanda mati suri”bagi sipembuatnya (pelukisnya). Makna seperti ini hanya dapat dimaklumi oleh kaum yang
terbatas yaitu mereka yang mampumembaca simbol visual yang sangat sensitive. Mengikuti kenyataannya
memang keadaan fisik Affandi terus menurun keluar masuk rumah sakit, berlarut berkepanjangan lebih dari satu
tahun telah kehilangan kemampuan untuk berkomunikasidengan siapapun. Bahkan bernafas maupun makan
melalui alat bantu. Ooh……….. betapa dalam serta menghujamnya rasaduka bagi siapapun yang sempat
berkunjung, bagaimana pula keluarga dekat serta anak isterinya yang setiap harimenunggu serta merawatnya tak
tertanggungkan kiranya.
Maestro Seni Lukis
Affandi
Dullah
Nama : Dullah Lahir : Solo, JawaTengah, 17 September 1919 Profesi : Pelukis danpenulis Karya Buku : Lukisan-lukisankoleksi DR. Ir.Soekarno,PresidenRI, sebayak 4jilid diterbitkandiRRCtahun1956 dan 1961, Ukiran-ukiranrakyat DR. Ir.Soekarno tahun 1961, Karyadalampeperangandanrevolusi, diterbitkandi Suatu hari di akhir tahun 1979, pelukis Affandi menjemur seorang muridnya di Pejeng, Bali, tatkala matahari menyengat. Murid yang sudah berusia 60 tahun itu, Dullah, tak berani membantah. Apalagi protes. Affandi lagi kerajingan membuat rekonstruksi poster besarnya di zaman perjuangan, berjudul Boeng Ajo Boeng, yang pernah dianggap sebagai poster perjuangan pertama yang dibuat orang disini. Dullah dikenal sebagai seorang pelukis realis. Corak lukisannya realistik. Mempunyai kegemaran melukis portrait (wajah) dan komposisi-komposisi yang menampilkan banyak orang (group). Diakui sebagai guru melukisnya adalah dua orang pelukis kenamaan ; S. Sudjojono dan Affandi. Meskipun demikian corak lukisannya tidak pernah mempunyai persamaan dengan dua orang gurunya. Pernah dikenal sebagai pelukis istana selama 10 tahun sejak awal tahun 1950-an, dengan tugas khas memperbaiki lukisan-lukisan yang rusak dan penyusun buku koleksi lukisan Presiden Soekarno. Dullah juga dikenal sebagai pelukis revolusi, karena dalam karya-karyanya banyak mengetengahkan tema-tema perjuangan selama masa mempertahankan kemerdekaan. Pada waktu perang kemerdekaan II, saat Yogyakarta diduduki oleh tentara Belanda pada 19 Desember 1949 hingga 29 Juni 1950, Dullah memimpin anak didiknya yang masih belum berumur 17 tahun untuk melukis langsung peristiwa-peristiwa selama pendudukan Yogyakarta sebagai usaha pendokumentasian sejarah perjuangan bangsa. Lukisan-lukisan yang dihasilkan ketika itu diulas di surat-surat kabar bahkan oleh Affandi dinilai sebagai karya satu-satunya di dunia. Dullah merupakan salah seorang pelukis realis yang jarang berpameran. Tapi pamerannya bersama anak-anaknya di Gedung Agung (Istana Kepresidenan Yogya) tahun 1978, berhasil menarik puluhan ribu orang. Meskipun pameran diperpanjang satu hari, pintu gerbang Gedung Agung bagian Utara sempat pula jebol. Pameran itu dilanjutkan 20 Desember 1979 hingga 2 Januari 1980, di Aldiron Plaza, Jakarta. Banyak orang kecewa karena ia tak menjual lukisannya. Menenun, Cat minyak diatas kanvas, 90 x 12 cm Baginya melukis adalah media untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Dullah termasuk pendiri Himpunan Budaya Surakarta (HBS). Kemudian didirikannya sebuah sanggar di Pejeng, Bali. Pada setiap pameran baik didalam atau diluar negeri, karya murid-muridnya ikut disertakan . Ia juga menulis sajak. Beberapa sajaknya dimuat dalam bunga rampai sastra Indonesia yang di himpun oleh H.B Jassin. Pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan terbit dalam sebuah kumpulan di Pakistan. Sebuah puisinya yang berjudul Anak Rakyat ditulis tahun 1943 dan dimuat dalam Gema Tanah Air, barangkali sudah mengisyaratkan kegandrungannya kepada tema perjuangan dalam lukisan- lukisannya. Dullah mendirikan museum pribadi di Solo pada tahun 70-an, dan hingga kini museum tersebut masih representatif dan dikelola oleh pemerintah Kotamadya Surakarta. Banyak lukisan-lukisannya yang menjadi koleksi pejabat-pejabat penting pemerintahan baik dalam maupun luar negeri, tokoh masayarakat dan orang terkemuka, diantaranya Presiden pertama RI Soekarno, Wakil Presiden pertama RI Muhammad Hatta, Adam Malik, mantan Presiden Amerika Serikat Eisenhower, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Walter Mondale, mantan Perdana Menteri Australia Rudolf Menzies dan museum seni lukis di Ceko. Dilahirkan pada 11 Juni 1918 di Barat. Ia beruntung karena sempat sempat masuk sekolah dan belajarmelukis pada Wahdi, seorang pelukis pemandangan. pengetahuan tentangmelukis.Kegiatannya bukan hanya melukis semata,tetapi pada waktu senggang ia menceburkan diri pada grup sandiwara Sundasebagai pelukis dekor. Daripengalaman itulah, ia mengasah kemampuannya.Pertemuannya dengan Affandi merupakan fase dan sumber inspirasi jalanhidupnya untuk menjadi seorang pelukis. Dengandidasari niat yang tulus dan besar, ia memberanikan diri melangkah maju. Bermodalkanpensil, kertas, kanvasdan cat ia mulaiberkarya. Komunitas dari pergaulannya ikutmendukung dan terusmendorongnya untuk berkembang. Keberaniannya terlihat ketika iamembentukSanggar Pusaka Sunda pada tahun 1940-an bersama pelukis beberapa kalimengadakan pameran bersama. Revolusipun pecah, Hendra ikut berjuang. Baginya antara melukis dan berjuangsama pentingnya. Pengalamannya di frontperjuangan banyak memberi inspirasi baginya.Dari sinilah lahir karya-karyalukisan Hendra yang revolusioner.Lukisan“Pengantin Revolusi”, disebut -sebut sebagai karya empudengan ukurankanvas yang besar, tematik yang menarik dan warna yang menggugah semangatjuang.Nuansa kerakyatan menjadi fokus dalam pemaparan lukisannya. Dagang Ayam(1978), 95 x 146 cm Pada tahun 1947, iamendirikansanggarPelukis Rakyatbersamatemannya,Affandi. Dari sanggarinibanyakmelahirkanpelukis yang cukupdiperhitungkan sepertiFajarSidikdan G.Sidharta. Selainmelukis,mematungjuga merupakan bagiandarikesehariannya.Hasilnya, patungbatuJenderalSudirman dihalamangedung DPRD Yogyakarta. Baginya melukis adalah media untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Dullah termasuk pendiri Himpunan Budaya Surakarta (HBS). Kemudian didirikannya sebuah sanggar di Pejeng, Bali. Pada setiap pameran baik didalam atau diluar negeri, karya murid-muridnya ikut disertakan. Ia juga menulis sajak. Beberapa sajaknya dimuat dalam bunga rampai sastra Indonesia yang di himpun oleh H.B Jassin. Pernah diterjemahkan ke dalam bahasa dan terbit dalam sebuah kumpulan di Pakistan. Sebuah puisinya yang berjudul Anak Rakyat ditulis tahun 1943 Inggris dan dimuat dalam Gema Tanah Air, barangkali sudah mengisyaratkan kegandrungannya kepada tema perjuangan dalam lukisan-lukisannya. Dullah mendirikan museum pribadi di Solo pada tahun 70-an, dan hingga kini museum tersebut masih representatif dan dikelola oleh pemerintah Kotamadya Surakarta. Banyak lukisan-lukisannya yang menjadi koleksi pejabat-pejabat penting pemerintahan baik dalam maupun luar negeri, tokoh masayarakat dan orang terkemuka, diantaranya Presiden pertama RI Soekarno , Wakil Presiden pertama RI Muhammad Hatta, Adam Malik, mantan Presiden Amerika Serikat Eisenhower, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Walter Mondale, mantan Perdana Menteri Australia Rudolf Menzies dan museum seni lukis di Ceko.Ia bukan hanya dikenal sebagai seorang pelukis, tetapi ia juga dikenal sebagai pejuang, pemikir dan organisatoris. Di kalangan rekan-rekannya, ia dikenal sebagai pelukis yang konsisten dengan suara panggilan nuraninya, meskipun pada waktu ada “boom” seni lukis, ia tidak bergeming dalam memilih apa yang sudah dipilihnya.
Ia dibesarkan dari keluarga mapan. Ayahnya, Hoesen Adimihardja
asal Purwakarta adalah seorang pegawai negeri yang bekerja
pada jawatan pengairan. Awal mula ia menyukai dunia seni
lukis adalah saat ia bersekolah di HIS (
Pelajaran menggambarnya cukup menonjol. Begitu juga ketika ia
meneruskanstudinya di Sihan Gakko.
Seperti anak-anak lainnya, saat ia belum merasa tertarik untuk menekuni
seni lukis. Apa yang dilakukannya hanya karena ada pelajaran
menggambar. Tetapi lama-kelamaan, ia mulai tergerak ketika ia
melongok di Keimin Bunka Sidhoso sebuah lembaga kesenian yang
didirikan oleh pemerintah Jepang. Ia mulai tertarik dan ikut bergabung,
pada waktu itu usianya baru 15 tahun.
Di tempat itu, ia mulai merasakan ada sesuatu yang perlu dan patut
dikembangkan. Ia mulai berpikir untuk terjun ke dunia seni lukis. Abas Alibasyah lalu bergaul dengan pelukis lainnya seperti Hendra Gunawan, Barli Sasmitawinata dan Affandi. Mereka banyak memberi pengaruh terhadap dirinya. Dari sanalah kemudian Abas mulai menetapkan langkahnya menjadi seorang pelukis.
Abas Alibasyah | ||
Nama : Alibasyah Natapriyatna Lahir : Purwakarta, Jawa Barat, 11 Maret 1928 Pendidikan : HIS, Sihan Gakko, SMA BOPKRI, ASRI Karier : Pamong Taman Siswa Ibu Pawiyatan Guru SMA Stella Deuce dan SMA Negeri III B (Padmanaba) ( Direktur ASRI (Yogyakarta) dan ASKI ( Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala Lembaga Musikologi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Inspektur Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Anggota Konsorsium Seni Ditjen Dikti, Anggota Badan Sensor Film, Anggota Dewan Film, Ketua Dewan Kesenian Yogyakarta. Penghargaan : Anugerah Seni tahun 80-an dari pemerintah, Penghargaan dari DKJ untuk lukisan terbaik pada Biennale I, Lempad Prize dari Yayasan lempad Bali, Penghargaan dari ISI Yogyakarta untuk pengabdian dalam dalam pendidikan seni, Culural Award Scheme dari pemerintah Australia, Satya Lencana Kebudayaan dari pemerintah RI
|
Bukit-Bukit Harapan (100 X 180 cm) | Setelah Jepang kalah perang tahun 1945. Ia tidak hanya berdiam dan menekuni dunia lukis saja. Keaktifannya di |
Sepak terjangnya di SMA BOPKRI membuatnya lebih bersemangat dalam menentukan pilihan hidupnya dalam dunia seni lukis.Karena situasi pada waktu masih dalam kondisi perang, ia banyak membuat sketsa-sketsa revolusi atau kejuangan yang dapat mengalahkan penjajah. Disitulah Abbas mulai tertarik dan bergabung di sanggar Pelukis Rakyat bersama Hendra Gunawan dan Affandi di Yogyakarta
Begitu banyak jabatan yang pernah dipikulnya, dan banyak pula penghargaan yang diraihnya, termasuk pameran lukisan diberbagai belahan dunia sudah pernah dilakoninya. Penghargaan seni yang pernah diraihnya adalah Anugerah Seni dari pemerintah tahun 80-an, penghargaan dari DKJ, penghargaan Lempad Prize dari Yayasan Lempad Bali, Cultural Award Scheme dari pemerintah Australia dan Satya Lencana Kebudayaan dari pemerintah RI. Hingga kini Abas Alibasyah tak pernah berhenti bekerja dan berkarya.
Abas Alibasyah saat ini tinggal di
Tidak ada komentar:
Posting Komentar